Ilusi Pembangunan Dan IMF

Ilusi Pembangunan Dan IMF
Ilusi Pembangunan Dan IMF. SATU dimensi yang tidak saya suka dari teori-teori liberalisme ekonomi adalah dimensi ketimpangan (inequality) yang mengakar dan tak mungkin bisa dipisahkan. Memisahkan liberalisme ekonomi dan ketimpangan sama halnya berupaya memisahkan Muhammad dan Islam. Pada poin inilah sebenarnya kritik-kritik itu bermunculan dan mempersoalkan pandangan tersebut. Ini artinya, meskipun terdapat pandangan yang mengatakan sistem ekonomi liberal itu adalah solusi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi –hal itu memang benar– tapi pertumbuhan ekonomi itu bekerja untuk mencapai suatu tatanan masyarakat yang tidak fair. Maka dengan demikian, tak salah jika Karl Marx pernah bilang: kapatalisme itu sedang menghancurkan diri sendiri sebab terdapat kontradiksi tak terdamaikan dalam sistem tersebut –misalnya keinginan buruh untuk mendapatkan kesejahteraan dan pemilik modal (kapitalis) yang ingin terus mengambil keuntungan lebih.

Tak heran, lembaga keuangan International Monetary Fund (IMF), sebagai lembaga keuangan dunia, kerap memiliki implikasi negatif terhadap pembangunan ekonomi di negara berkembang. Kedua lembaga tersebut seringkali dicap sebagai sel-sel kerja negara kapitalis seperti Amerika Serikat (AS), yang menjadikan liberalisme ekonomi sebagai pedoman utama dalam merumuskan satu kebijakan.

Tidak menutup kemungkinan, hingga kini tuduhan miring terhadap kedua lembaga tersebut masih lekat di telinga kita. Dulu, ketika polarisasi dalam konstelasi politik internasional meningkat, terutama pada masa Perang Dingin (1947-1953), dunia terbelah menjadi dua kutub politik (kapitalisme-komunisme). IMF tentu lebih condong ke arah kapitalisme dan melalui ide-ide dasar kapitalisme itulah lembaga tersebut bekerja. Alhasil, Amerika Serikat sebagai negara penganut faham kapitalisme selalu menjadi aktor dominan dalam lembaga ini, sebab intervensi negara anggota terhadap kebijakan IMF ditentukan berdasarkan kekuatan ekonomi negara bersangkutan serta kontribusi keuangan terhadap IMF. Dengan demikian, IMF sebagai sebuah lembaga keuangan muncul dan didorong oleh ide-ide kapitalisme atau liberalisme itu sendiri. Dalam konteks akademik, ide-ide kapitalisme atau liberalisasi ekonomi itu seringkali dikaitkan dengan gagasan Adam Smith dalam buku berjudul The Wealth of Nations (1776). Inti dari pandangan Smith adalah mengharamkan intervensi negara dari segala bentuk aktivitas pasar.

Secara eksplisit, pembentukan IMF merupakan tonggak sejarah persebaran gagasan liberalisme ekonomi ke seluruh dunia melalui konferensi Bretton Woods 1944. Konferensi ini diprakarsai oleh Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt dengan dalih: mendorong pengurangan tarif dan hambatan dalam perdagangan internasional sekaligus meminimalisir konflik antar negara, termasuk mengatasi kesulitan ekonomi akibat Perang Dunia ke II. Jhon Maynard Keynes dan Harry Dexter White sebagai pelopor pembentukan IMF sebenarnya memiliki tujuan mulia, yakni ingin menciptakan sebuah lembaga demokratis untuk menggantikan kekuasaan para bankir dan pemilik kapitalis internasional yang dituduh bertanggung jawab atas resesi ekonomi 1930. Tapi sayang, IMF dikemudian hari justru menjadi malapetaka bagi negara-negara berkembang dan bermetamorfosis menjadi peyokong model ekonomi pasar bebas.

Diskurus Liberalisme Ekonomi
Pada periode pasca kemerdekaan, baik itu di Indonesia maupun di negara-negara Dunia Ketiga, sifat eskploitatif dari negara-negara Dunia Pertama tetap berlangsung. Periode itu dapat dibagi dalam tiga tahap. Pertama kolonialisme atau era dimana produksi komoditas secara massal oleh negara-negara kapitalis terjadi dalam bentuk kekerasan dan pemaksaan. Kedua, tahap neokolonialisme atau situasi dimana modus penjajahan dilakukan melalui penjajahan ideologi dan teoritik dan terakhir eksploitasi dilakukan melalui tahapan globalisasi. Konsep globalisasi bahkan jauh-jauh hari telah dipersiapkan sebagai antisipasi krisis di kemudian hari sekaligus sebagai model produksi baru bagi kapitalisme internasional untuk terus mengekspolitasi negara-negara pinggiran. Tiga tahapan ini memberikan gambaran bahwa ekspansi kapitalisme secara historis merupakan sebuah keniscayaan dan IMF secara jelas mendukung skenario tersebut.

Persebaran ide-ide liberalisme ini juga secara sengaja dijadikan sebagai alat untuk membendung pengaruh komunisme di negara-negara berkembang pasca Perang Dingin, mengingat kekuatan politik komunisme saat itu masih mendominasi negara-negara di Asia. Sejak itu, gagasan liberalisme menjadi sebuah diskursus menarik di kalangan birokrat sekaligus bagi para intelektual Barat. Momen ketika para intelektual memainkan peran penting mengenai ide-ide liberalisme terjadi pada tahun 1961, dimana para ahli ilmu sosial berkumpul dalam suatu lokakarya tentang “The Implementation of Title IX of the Foreign Assistance Act of 1961”. Pertemuan tersebut berhasil melahirkan sebuah saran kepada pemerintah Amerika tentang bagaimana melakukan penaklukan ideologi dan teoritis terhadap negara-negara Dunia Ketiga. Usai pertemuan tersebut para ahli ilmu sosial kemudian merasa terdorong dan menjadi makin produktif dalam usaha mengembangkan seperangkat teori sehingga kemudian berhasillah dikembangkan teori tentang modernisasi (development). Tiga pemikir terkenal dalam pengembangan proyek ini adalah Walt Whitman Rostow, David McClelland dan Alex Inkeles. Gagasan mereka pada akhirnya menjadi sebuah doktrin pemerintahan Amerika terkait pembangunan ekonomi di negara-negara dunia ketiga.

Rostow, McClelland dan Proyek Modernisasi
W.W Rostow, seorang ekonom asal Amerika Serikat (AS) kelahiran (1916-2003), sekaligus terkenal sebagai bapak teori pembangunan dan pertumbuhan pernah menulis begini: modal adalah hal terpenting jika sebuah negara ingin menuju ke tahapan modernisasi atau komsumsi massa tinggi (high mass consumption). Modernisasi dalam pandangan Rostow seperti dituangkan dalam buku berjudul “The Stage of Economic Growth” adalah fase terpuncak setelah melalui empat fase masyarakat: tradisional, pra kondisi tinggal landas, tinggal landas dan masyarakat pematangan pertumbuhan (the five-stage scheme, 1960).

Teori Rostow pada hakikatnya berangkat dari pandangan dasar tentang evolusi. Asumsi yang dipakai adalah sebuah masyarakat selalu berada dalam fase tradisional sebelum menuju pada tahap modernisasi. Modernisasi menurut Rostow akan terjadi secara otomatis melalui proses akumulasi modal (tabungan dan investasi) dengan menekankan bantuan dan hutang luar negeri. Dengan tahapan seperti ini dan melalui bantuan modal, maka perubahan sosial menjadi suatu yang tak terelakkan.
Berbeda dengan Rostow, McClelland (1917-1998) mengemukakan pandangan tentang perubahan sosial melalui pendekatan psikologis dan kultural. Ia berpendapat, pertumbuhan ekonomi yang pesat di suatu negara terjadi bukan didorong oleh faktor eksternal ( bantuan modal dari dari negara lain ) melainkan ditentukan oleh faktor-faktor internal. Variabel penting dalam teori yang dikembangkan dalam buku “The Achievement Motive in Economic Growth” adalah the need for achievement (N’ach). Teorema ini sejalan dengan tesis Weber tentang hubungan Protestanisme dan kapitalisme, bahwa kepercayaan seorang calvanis tentang takdir mendorong mereka untuk merasionalisasikan kehidupan yang ditunjukkan oleh Tuhan. Kepercayaan mengenai takdir untuk hidup mandiri atau bekerja bukan untuk sekadar gengsi sosial tapi memuaskan batin dari dalam.

McMcelland menakankan bahwa dorongan seorang pekerja atau pengusaha bukanlah profit motive, melainkan dorongan untuk memuaskan batin atau need for achievement. Menurut teori ini, faktor-faktor internal inilah yang menjadi sebab utama kemajuan pertumbuhan ekonomi di Barat.

Sebagai bapak teori pertumbuhan dan pembangunan, Rostow dan McClleland diidentikkan sebagai pemikir anti-komunis. Gagasan mereka tentang pembangunan mendapat sokongan dana dari besar-besaran pemerintah Amerika Serikat dan perusahaan swasta di Amerika sebagai rujukan penting untuk pembangunan di negara Dunia Ketiga. Teorema yang dibangun bukan sekadar sebagai a school of thought tapi sekaligus telah bermetamorfosis menjadi sebuah ideologi untuk membendung pengaruh ide-ide sosialisme secara global. Sikap anti-komunis itu dapat dilihat ketika Rostow membuat sebuah tulisan berjudul “The Stages of Economic Growth A Non Communist Manifesto”.Teori Rostow dan McClelland ini kelak dikenal dengan nama teori modernisasi –sebuah corak produksi baru bagi rezim kapitalisme internasional untuk mengakumulasi modal dari negara-negara pinggiran (Dunia Ketiga).

Teori moderninasi berkembang disaat struktur politik internasional bersifat bipolar atau didominasi oleh dua kutub kekuataan politik: Barat (Kapitalis) dan Timur (Komunis). Konteks politik ketika itu dengan cepat merangsang teori ini beralih menjadi sebuah ideologi ketimbang sekadar menjadi diskursus ilmu pengetahuan. Perkembangannya semakin pesat ketika rezim Komunis Uni Soviet runtuh pada 1991. Kejatuhan Uni Soviet sekaligus memberikan akses penuh kepada negara-negara penganut ideologi politik kapitalis untuk melancarkan penetrasi sistem ekonomi kapitalisitik di negara-negara Dunia Ketiga. Sejak itu pula, teori modernisasi dan pertumbuhan Rostow dan McClelland mendominasi wacana-wacana pembangunan ekonomi sekaligus menjadi perbincangan menarik bagi kalangan birokrat di negara- negara berkembang, termasuk Indonesia.

Lembaga Internasional dan Ilusi Pembangunan
Pada pertemuan IMF dan Bank Dunia tahun 2018 (AM-IMF-WB 2018), Indonesia ditetapkan sebagai tuan rumah. Dalam pertemuan ini pula akan dibahas beberap isu terkait permasalahan ekonomi global, seperti penguatan International Monetary System (IMS), ekonomi digital, kebutuhan pembiayaan infrastruktur, penguatan ekonomi dan keuangan syariah serta sektor fiskal. Pemerintah Indonesia berharap ada dampak positif dari pertemuan ini terutama dapat memicu laju investasi di sektor parawisata. Kendati, jika tidak hati-hati, isu-isu ini dapat dimanfaatkan oleh para kapitalis global sebagai strategi untuk mendominasi. Analisa Michel Foucault (1926-1984) tentang discourse, power dan knowledge dapat kita pakai untuk melihat hajatan IMF dan Bank Dunia.

Dalam konteks ini, diskursus mengenai pembangunan masih tetap dipakai sebagai sebuah pengetahuan untuk mendapatkan dominasi. Bagi Foucault dominasi kapitalisme terjadi melalui sebuah proses yang disebut anatomy-politics of human body atau sebuah pendisplinan dan bio-politics of populations atau kontrol regulatori yang ditetapkan melalui sebuah bentuk kekuasan baru atau bio-power. Pandangan ini memberikan pesan bahwa diskursus tentang pembangunan infrastruktur, ekonomi digital dan investasi bukanlah sekadar wacana tetapi sebuah gagasan yang memiliki sistem kekuasaan dan dominasi.

Dari analisis Foucault, kita jadi paham bahwa permasalahan ekonomi global selama ini terjadi bukan karena keterbelakangan sebuah negara atau ketidakmampuan negara tersebut mengelola sistem ekonominya melainkan telah terjadi sebuah proses hegemoni dan dominasi negara-negara maju terhadap dan negara berkembang. Hal ini dilakukan melalui bentuk-bentuk pengetahuan seperti teori modernisasi yang dikembangkan oleh Rostow dan McClleland.

Dengan demikian, tidak berlebihan jika saya berkesimpulan bahwa hajatan IMF dan Bank Dunia 2018 ini semakin menegaskan dominasi atau ketergantungan yang lebih akut terhadap kapitalisme global.

Comments

Popular posts from this blog

Justin Bieber Hancur Sedih, Selena Gomez Sakit

Jenis Kacang yang Ampuh Untuk Mengatasi Hipertensi