The Big Deal Presiden Trump untuk Timur Tengah
The Big Deal Presiden Trump untuk Timur Tengah. Sejak bersinggasana di Gedung Putih hampir dua tahun lalu, Presiden Donald Trump telah beberapa kali menyebut /he big deal of the century, alias shafaqatu al-qarn,
atau “kesepakatan abad ini”. Gagasan ini akan ia tawarkan (baca:
paksakan) untuk mengubah geopolitik di Timur Tengah. Atau dalam bahasa
Gedung Putih, “untuk mengakhiri konflik Palestina-Israel yang telah
berlangsung selama puluhan tahun.”
Hingga sekarang, kesepakatan yang digagas Presiden Trump ini belum dirilis secara resmi. Juga belum ada perincian detail mengenai apa dan bagaimana kesepakatan itu. Namun, gaung kesepakatan yang dibuat Trump sudah ke mana-mana. Termasuk pernyataan penolakan dari berbagai pihak.
Yang terbaru adalah penolakan dari para peserta konferensi Koalisi Internasional untuk membela al-Quds dan Palestina di Istanbul pada Jumat dan Sabtu lalu. Konferensi ini–diikuti 800 peserta, termasuk para tokoh Hamas dan delegasi dari 76 negara–dimaksudkan untuk menggalang dukungan terhadap perjuangan bangsa Palestina dan membebaskan al-Quds. Salah satu agenda penting yang dibahas adalah the big deal-nya Presiden Trump.
Seperti dilaporkan berbagai media internasional, termasuk media Arab, kesepakatan Trump itu dimaksudkan untuk menciptakan keamanan regional. Tepatnya keamanan kawasan Timur Tengah. Sebagai syarat utama, versi Trump, konflik Arab-Israel harus segera diakhiri, terorisme harus dibasmi, dan Iran harus dikucilkan dan dipaksa meninggalkan program nuklirnya.
Menurut kolomnis Timur Tengah di media al-Sharq al-Awsat, Dr Syamlan Yusuf al-Isa, kesepakatan yang digagas Trump itu akan lebih terfokus pada mengakhiri konflik Arab-Israel. Sayangnya, kesepakatan ini tidak menyebutkan konsep dua negara, Palestina Meredeka dan Israel yang hidup berdampingan, sebagaimana telah disepakati banyak pihak, terutama oleh masyarakat internasional.
Sesuai konsep dalam kesepakatan Trump ini, Palestina akan berdiri di atas sebagian wilayah di Tepi Barat tanpa kedaulatan penuh. Bagian wilayah Tepi Barat lain yang telah dibangun permukiman Yahudi akan menjadi wilayah Israel. Begitu juga dengan Yerusalem. Sedangkan desa-desa di timur Yerusalem yang kini diduduki Israel, yaitu Desa Shuafat, Jabar al-Mukaber, Issawiya, dan Desa Abu Dis, akan dijadikan sebagai ibu kota Palestina. Bukan Yerusalem yang selama ini telah diakui Palestina sebagai ibu kotanya.
Sedangkan untuk Gaza, gencatan senjata jangka panjang akan diterapkan, blokade ekonomi akan dicabut, pelabuhan internasional akan dibangun, dan pekerjaan serta pelayanan untuk 2 juta warga Palestina di Gaza akan dijamin dan dingkatkan.
Kesepakatan itu juga mencakup konfederasi Palestina dengan Yordania dan memindahkan sebagian
warga Palestina ke Sinai, Mesir. Sebagai imbalannya, Mesir dan Yordania akan menerima miliaran dolar untuk membantu meningkatkan perekonomian di dua negara itu.
Hingga kini, belum diketahui bagaimana respons Yordania dan Mesir terhadap kesepakatan Trump itu. Sejauh ini kedua negara itu masih berpegang pada penyelesaian dua negara: Israel dan Palestina yang hidup berdampingan.
Sebagai politisi dan pebisnis, Trump tampaknya hanya memikirkan keuntungan. Ia menyadari betul posisi Amerika sebagai negara kuat, banyak negara–termasuk negara-negara Arab–yang membutuhkan dukungannya. Dengan posisi seperti itu, ia beranggapan bisa memaksakan kehendaknya.
Yang membahayakan, seperti dikatakan Marwan Bishara, analis politik senior media //Aljazirah//, pengaruh Lobi Yahudi Amerika dalam pemerintahan Presiden Trump sangat kuat. Lebih kuat dibandingkan presiden-presiden Amerika sebelumnya.
Lihatlah, Presiden Trump bisa dengan seenaknya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan pengakuan ini langsung ditindaklanjuti oleh utusan Trump untuk perdamaian Timur Tengah, Jared Kouchner (menantunya) dan Jason Greenblatt, dengan memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem. Berbagai protes pun mereka abaikan.
Terkait dengan //the deal of the century// ini pun Trump tampaknya akan tetap berjalan dengan rencananya. Ia akan melemparkan kesepakatan itu kepada pihak-pihak terkait, utamanya Palestina. Apakah mereka menerima atau tidak, itu urusan belakang.
Namun, kali ini langkah Trump tampaknya tidak semudah yang ia bayangkan. Ada beberapa faktor—baik regional maupun internasional—yang akan menggagalkan kesepakatan itu. Sejak awal, rakyat dan otoritas Palestina serta orang-orang Yahudi yang tergabung dalam Partai Demokrat dan kelompok liberal Amerika sudah menolak kesepakatan itu.
Mereka itu telah lama menolak pembangungan permukiman Yahudi dan percaya pada penyelesaian dua negara. Partai Demokrat sendiri, yang kemungkinan besar akan mendapatkan tambahan kursi pada pemilihan anggota Kongres bulan depan, sejak awal telah menolak apa yang ditawarkan Trump dan lebih menginginkan solusi dua negara.
Di tingkat regional, kampanye Trump untuk mengucilkan Iran, harus dibarengi dengan penyelesaian konflik Palestina-Israel. Sikap Amerika yang membabi buta membela kepentingan Israel telah dijadikan sebagai alasan bagi Iran dan sejumlah pihak untuk melawan kepentingan AS di kawasan.
Yang juga tidak boleh dilupakan adalah kekuatan-kekuatan besar dunia lainnya, seperti Rusia dan Uni Eropa. Negara-negara ini telah mempunyai sikap yang jelas terhadap kesepakatan Trump. Mereka akan menolak kesepakatan itu karena bila menerimanya akan mengecilkan atau mengurangi pengaruh dan kewibawaan mereka di Timur Tengah. Di Inggris, misalnya, Partai Buruh dalam kongres terakhirnya yang diseleggarakan di Liverpool telah menyerukan kepada pemerintah setempat agar menghentikan penjualan senjata ke Israel.
Oleh karena itu, bisa dipastikan the big deal yang ditawarkan Trump untuk mengubah geopolitik di Timur Tengah akan ditolak oleh berbagai pihak—baik oleh Palestina sendiri, oleh negara-negara di kawasan maupun oleh kekuatan-kekuatan internasional. Persoalan pokoknya karena kesepakatan yang dibuat Trump tidak adil, berat sebelah untuk kepentingan Zionis Israel. The big deal Trump telah mengabaikan hak-hak rakyat Palestina, yang wilayahnya telah diduduki Israel dan penduduknya diusir dari tanah air mereka sendiri.
Hal inilah yang juga digarisbawahi Ismail Haniyah, kepala biro politik Hamas, ketika menolak the big dea Trump. Dalam pidatonya di depan peserta pertemuan “Koalisi Internasional untuk Membela al Quds dan Palestina” di Istanbul pada Jumat lalu, ia menyatakan kesepakatan itu sengaja dibuat untuk menghabisi eksistensi perjuangan rakyat Palestina.
Yang menjadi kekhawatiran banyak pihak, Presiden Trump bisa saja memaksakan the big deal-nya dengan berbagai cara. Salah satunya memanfaatkan pengaruhnya terhadap negara-negara Arab, terutama negara-negara kaya Teluk, yang selama ini didukung militer AS.
Trump sendiri telah mengancam Arab Saudi yang merupakan negara terbesar dan terkuat di Teluk, ketika mengatakan penguasa negara itu akan guling apabila tidak didukung militer AS. Negara-negara kaya Teluk selama ini merupakan donatur terbesar untuk perjuangan bangsa Palestina.
Tidak aneh bila sikap negara-negara itu dalam beberapa tahun ini—terutama selama Trump bersinggasana di Gedung Putih—lebih lunak terhadap Zionis Israel. Bahkan, Iran mereka anggap lebagai musuh yang lebih berbahaya daripada Israel.
Di tingkat regional, kampanye Trump untuk mengucilkan Iran, harus dibarengi dengan penyelesaian konflik Palestina-Israel. Sikap Amerika yang membabi buta membela kepentingan Israel telah dijadikan sebagai alasan bagi Iran dan sejumlah pihak untuk melawan kepentingan AS di kawasan.
Yang juga tidak boleh dilupakan adalah kekuatan-kekuatan besar dunia lainnya, seperti Rusia dan Uni Eropa. Negara-negara ini telah mempunyai sikap yang jelas terhadap kesepakatan Trump. Mereka akan menolak kesepakatan itu karena bila menerimanya akan mengecilkan atau mengurangi pengaruh dan kewibawaan mereka di Timur Tengah. Di Inggris, misalnya, Partai Buruh dalam kongres terakhirnya yang diseleggarakan di Liverpool telah menyerukan kepada pemerintah setempat agar menghentikan penjualan senjata ke Israel.
Oleh karena itu, bisa dipastikan the big deal yang ditawarkan Trump untuk mengubah geopolitik di Timur Tengah akan ditolak oleh berbagai pihak—baik oleh Palestina sendiri, oleh negara-negara di kawasan maupun oleh kekuatan-kekuatan internasional. Persoalan pokoknya karena kesepakatan yang dibuat Trump tidak adil, berat sebelah untuk kepentingan Zionis Israel. The big deal Trump telah mengabaikan hak-hak rakyat Palestina, yang wilayahnya telah diduduki Israel dan penduduknya diusir dari tanah air mereka sendiri.
Hal inilah yang juga digarisbawahi Ismail Haniyah, kepala biro politik Hamas, ketika menolak the big dea Trump. Dalam pidatonya di depan peserta pertemuan “Koalisi Internasional untuk Membela al Quds dan Palestina” di Istanbul pada Jumat lalu, ia menyatakan kesepakatan itu sengaja dibuat untuk menghabisi eksistensi perjuangan rakyat Palestina.
Yang menjadi kekhawatiran banyak pihak, Presiden Trump bisa saja memaksakan the big deal-nya dengan berbagai cara. Salah satunya memanfaatkan pengaruhnya terhadap negara-negara Arab, terutama negara-negara kaya Teluk, yang selama ini didukung militer AS.
Trump sendiri telah mengancam Arab Saudi yang merupakan negara terbesar dan terkuat di Teluk, ketika mengatakan penguasa negara itu akan guling apabila tidak didukung militer AS. Negara-negara kaya Teluk selama ini merupakan donatur terbesar untuk perjuangan bangsa Palestina.
Tidak aneh bila sikap negara-negara itu dalam beberapa tahun ini—terutama selama Trump bersinggasana di Gedung Putih—lebih lunak terhadap Zionis Israel. Bahkan, Iran mereka anggap lebagai musuh yang lebih berbahaya daripada Israel.
Hingga sekarang, kesepakatan yang digagas Presiden Trump ini belum dirilis secara resmi. Juga belum ada perincian detail mengenai apa dan bagaimana kesepakatan itu. Namun, gaung kesepakatan yang dibuat Trump sudah ke mana-mana. Termasuk pernyataan penolakan dari berbagai pihak.
Yang terbaru adalah penolakan dari para peserta konferensi Koalisi Internasional untuk membela al-Quds dan Palestina di Istanbul pada Jumat dan Sabtu lalu. Konferensi ini–diikuti 800 peserta, termasuk para tokoh Hamas dan delegasi dari 76 negara–dimaksudkan untuk menggalang dukungan terhadap perjuangan bangsa Palestina dan membebaskan al-Quds. Salah satu agenda penting yang dibahas adalah the big deal-nya Presiden Trump.
Seperti dilaporkan berbagai media internasional, termasuk media Arab, kesepakatan Trump itu dimaksudkan untuk menciptakan keamanan regional. Tepatnya keamanan kawasan Timur Tengah. Sebagai syarat utama, versi Trump, konflik Arab-Israel harus segera diakhiri, terorisme harus dibasmi, dan Iran harus dikucilkan dan dipaksa meninggalkan program nuklirnya.
Menurut kolomnis Timur Tengah di media al-Sharq al-Awsat, Dr Syamlan Yusuf al-Isa, kesepakatan yang digagas Trump itu akan lebih terfokus pada mengakhiri konflik Arab-Israel. Sayangnya, kesepakatan ini tidak menyebutkan konsep dua negara, Palestina Meredeka dan Israel yang hidup berdampingan, sebagaimana telah disepakati banyak pihak, terutama oleh masyarakat internasional.
Sesuai konsep dalam kesepakatan Trump ini, Palestina akan berdiri di atas sebagian wilayah di Tepi Barat tanpa kedaulatan penuh. Bagian wilayah Tepi Barat lain yang telah dibangun permukiman Yahudi akan menjadi wilayah Israel. Begitu juga dengan Yerusalem. Sedangkan desa-desa di timur Yerusalem yang kini diduduki Israel, yaitu Desa Shuafat, Jabar al-Mukaber, Issawiya, dan Desa Abu Dis, akan dijadikan sebagai ibu kota Palestina. Bukan Yerusalem yang selama ini telah diakui Palestina sebagai ibu kotanya.
Sedangkan untuk Gaza, gencatan senjata jangka panjang akan diterapkan, blokade ekonomi akan dicabut, pelabuhan internasional akan dibangun, dan pekerjaan serta pelayanan untuk 2 juta warga Palestina di Gaza akan dijamin dan dingkatkan.
Kesepakatan itu juga mencakup konfederasi Palestina dengan Yordania dan memindahkan sebagian
warga Palestina ke Sinai, Mesir. Sebagai imbalannya, Mesir dan Yordania akan menerima miliaran dolar untuk membantu meningkatkan perekonomian di dua negara itu.
Hingga kini, belum diketahui bagaimana respons Yordania dan Mesir terhadap kesepakatan Trump itu. Sejauh ini kedua negara itu masih berpegang pada penyelesaian dua negara: Israel dan Palestina yang hidup berdampingan.
Sebagai politisi dan pebisnis, Trump tampaknya hanya memikirkan keuntungan. Ia menyadari betul posisi Amerika sebagai negara kuat, banyak negara–termasuk negara-negara Arab–yang membutuhkan dukungannya. Dengan posisi seperti itu, ia beranggapan bisa memaksakan kehendaknya.
Yang membahayakan, seperti dikatakan Marwan Bishara, analis politik senior media //Aljazirah//, pengaruh Lobi Yahudi Amerika dalam pemerintahan Presiden Trump sangat kuat. Lebih kuat dibandingkan presiden-presiden Amerika sebelumnya.
Lihatlah, Presiden Trump bisa dengan seenaknya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan pengakuan ini langsung ditindaklanjuti oleh utusan Trump untuk perdamaian Timur Tengah, Jared Kouchner (menantunya) dan Jason Greenblatt, dengan memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem. Berbagai protes pun mereka abaikan.
Terkait dengan //the deal of the century// ini pun Trump tampaknya akan tetap berjalan dengan rencananya. Ia akan melemparkan kesepakatan itu kepada pihak-pihak terkait, utamanya Palestina. Apakah mereka menerima atau tidak, itu urusan belakang.
Namun, kali ini langkah Trump tampaknya tidak semudah yang ia bayangkan. Ada beberapa faktor—baik regional maupun internasional—yang akan menggagalkan kesepakatan itu. Sejak awal, rakyat dan otoritas Palestina serta orang-orang Yahudi yang tergabung dalam Partai Demokrat dan kelompok liberal Amerika sudah menolak kesepakatan itu.
Mereka itu telah lama menolak pembangungan permukiman Yahudi dan percaya pada penyelesaian dua negara. Partai Demokrat sendiri, yang kemungkinan besar akan mendapatkan tambahan kursi pada pemilihan anggota Kongres bulan depan, sejak awal telah menolak apa yang ditawarkan Trump dan lebih menginginkan solusi dua negara.
Di tingkat regional, kampanye Trump untuk mengucilkan Iran, harus dibarengi dengan penyelesaian konflik Palestina-Israel. Sikap Amerika yang membabi buta membela kepentingan Israel telah dijadikan sebagai alasan bagi Iran dan sejumlah pihak untuk melawan kepentingan AS di kawasan.
Yang juga tidak boleh dilupakan adalah kekuatan-kekuatan besar dunia lainnya, seperti Rusia dan Uni Eropa. Negara-negara ini telah mempunyai sikap yang jelas terhadap kesepakatan Trump. Mereka akan menolak kesepakatan itu karena bila menerimanya akan mengecilkan atau mengurangi pengaruh dan kewibawaan mereka di Timur Tengah. Di Inggris, misalnya, Partai Buruh dalam kongres terakhirnya yang diseleggarakan di Liverpool telah menyerukan kepada pemerintah setempat agar menghentikan penjualan senjata ke Israel.
Oleh karena itu, bisa dipastikan the big deal yang ditawarkan Trump untuk mengubah geopolitik di Timur Tengah akan ditolak oleh berbagai pihak—baik oleh Palestina sendiri, oleh negara-negara di kawasan maupun oleh kekuatan-kekuatan internasional. Persoalan pokoknya karena kesepakatan yang dibuat Trump tidak adil, berat sebelah untuk kepentingan Zionis Israel. The big deal Trump telah mengabaikan hak-hak rakyat Palestina, yang wilayahnya telah diduduki Israel dan penduduknya diusir dari tanah air mereka sendiri.
Hal inilah yang juga digarisbawahi Ismail Haniyah, kepala biro politik Hamas, ketika menolak the big dea Trump. Dalam pidatonya di depan peserta pertemuan “Koalisi Internasional untuk Membela al Quds dan Palestina” di Istanbul pada Jumat lalu, ia menyatakan kesepakatan itu sengaja dibuat untuk menghabisi eksistensi perjuangan rakyat Palestina.
Yang menjadi kekhawatiran banyak pihak, Presiden Trump bisa saja memaksakan the big deal-nya dengan berbagai cara. Salah satunya memanfaatkan pengaruhnya terhadap negara-negara Arab, terutama negara-negara kaya Teluk, yang selama ini didukung militer AS.
Trump sendiri telah mengancam Arab Saudi yang merupakan negara terbesar dan terkuat di Teluk, ketika mengatakan penguasa negara itu akan guling apabila tidak didukung militer AS. Negara-negara kaya Teluk selama ini merupakan donatur terbesar untuk perjuangan bangsa Palestina.
Tidak aneh bila sikap negara-negara itu dalam beberapa tahun ini—terutama selama Trump bersinggasana di Gedung Putih—lebih lunak terhadap Zionis Israel. Bahkan, Iran mereka anggap lebagai musuh yang lebih berbahaya daripada Israel.
Di tingkat regional, kampanye Trump untuk mengucilkan Iran, harus dibarengi dengan penyelesaian konflik Palestina-Israel. Sikap Amerika yang membabi buta membela kepentingan Israel telah dijadikan sebagai alasan bagi Iran dan sejumlah pihak untuk melawan kepentingan AS di kawasan.
Yang juga tidak boleh dilupakan adalah kekuatan-kekuatan besar dunia lainnya, seperti Rusia dan Uni Eropa. Negara-negara ini telah mempunyai sikap yang jelas terhadap kesepakatan Trump. Mereka akan menolak kesepakatan itu karena bila menerimanya akan mengecilkan atau mengurangi pengaruh dan kewibawaan mereka di Timur Tengah. Di Inggris, misalnya, Partai Buruh dalam kongres terakhirnya yang diseleggarakan di Liverpool telah menyerukan kepada pemerintah setempat agar menghentikan penjualan senjata ke Israel.
Oleh karena itu, bisa dipastikan the big deal yang ditawarkan Trump untuk mengubah geopolitik di Timur Tengah akan ditolak oleh berbagai pihak—baik oleh Palestina sendiri, oleh negara-negara di kawasan maupun oleh kekuatan-kekuatan internasional. Persoalan pokoknya karena kesepakatan yang dibuat Trump tidak adil, berat sebelah untuk kepentingan Zionis Israel. The big deal Trump telah mengabaikan hak-hak rakyat Palestina, yang wilayahnya telah diduduki Israel dan penduduknya diusir dari tanah air mereka sendiri.
Hal inilah yang juga digarisbawahi Ismail Haniyah, kepala biro politik Hamas, ketika menolak the big dea Trump. Dalam pidatonya di depan peserta pertemuan “Koalisi Internasional untuk Membela al Quds dan Palestina” di Istanbul pada Jumat lalu, ia menyatakan kesepakatan itu sengaja dibuat untuk menghabisi eksistensi perjuangan rakyat Palestina.
Yang menjadi kekhawatiran banyak pihak, Presiden Trump bisa saja memaksakan the big deal-nya dengan berbagai cara. Salah satunya memanfaatkan pengaruhnya terhadap negara-negara Arab, terutama negara-negara kaya Teluk, yang selama ini didukung militer AS.
Trump sendiri telah mengancam Arab Saudi yang merupakan negara terbesar dan terkuat di Teluk, ketika mengatakan penguasa negara itu akan guling apabila tidak didukung militer AS. Negara-negara kaya Teluk selama ini merupakan donatur terbesar untuk perjuangan bangsa Palestina.
Tidak aneh bila sikap negara-negara itu dalam beberapa tahun ini—terutama selama Trump bersinggasana di Gedung Putih—lebih lunak terhadap Zionis Israel. Bahkan, Iran mereka anggap lebagai musuh yang lebih berbahaya daripada Israel.
Comments
Post a Comment